Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, segenap sahabatnya dan para pengikut setia mereka. Amma ba’d.
Untuk kesempatan ini, kita akan membahas faidah-faidah dari hadits berikutnya yang dikategorikan oleh para ulama termasuk dalam pokok-pokok ajaran Islam. Hadits disebutkan oleh para ulama -di antaranya An-Nawawi dan As-Sa’di rahimahumallah- di dalam karya mereka (hadits kelima dalam Arba’in An-Nawawiyah dan hadits kedua dalam Bahjat Al-Qulub Al-Abrar).
Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah radhiyallahu ta’ala ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada tuntunannya dari kami maka perkara itu tertolak.” (HR. Bukhari [2697] dan Muslim [1718]). Dalam riwayat Muslim juga dibawakan dengan redaksi, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari Kami maka amal itu tertolak.”
Pelajaran yang bisa dipetik dari hadits ini antara lain :
1. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini tergolong pokok ajaran Islam dan salah satu kaidahnya. Makna dari hadits ini adalah; barangsiapa yang mereka-reka sesuatu dalam urusan agama yang tidak didukung dengan dalil di antara dalil-dalil agama yang ada maka hal itu tidak diakui.” (Fath Al-Bari, 5/341, lihat juga keterangan serupa oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim, 6/295). Oleh sebab itu Al-Bukhari rahimahullah menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk judul sebuah bab di dalam Kitab Ash-Shulh yang berbunyi, “Apabila perdamaian dilakukan secara aniaya, maka perdamaian itu tertolak.” (lihat Sahih Bukhari yang dicetak bersama Fath Al-Bari, 5/339). Begitu pula An-Nawawi rahimahullah menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk judul bab “Tertolaknya ketetapan hukum yang batil dan perkara-perkara yang diada-adakan.” (lihat Syarh Muslim, 6/295).
2. Redaksi hadits yang kedua (dalam riwayat Muslim) merupakan dalil untuk membantah orang yang melakukan bid’ah meskipun dia bukan orang yang pertama kali melakukannya. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Barangsiapa yang mengerjakan…” berbeda dengan bunyi redaksi pertama, “Barangsiapa yang mengada-adakan…” An-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalamnya terkandung bantahan bagi segala bentuk perkara yang baru (dalam agama), sama saja apakah yang menciptakan itu adalah pelakunya atau ada orang lain yang lebih dulu membuatnya.” (Syarh Muslim, 6/295).
3. Hadits ini juga menjadi dalil bagi ulama ahli ushul yang menyatakan (kaidah) bahwa larangan melahirkan konsekuensi tidak sahnya sesuatu yang dilarang (an-nahyu yaqtadhil fasad). Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang amal yang tidak ada tuntunannya, “… maka amal itu tertolak.” (lihat Fath Al-Bari, 5/342 dan Syarh Muslim, 6/295, Bahjat Al-Qulub, hal. 19). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Suatu bentuk larangan apabila disampaikan secara mutlak akan menuntut haramnya sesuatu yang dilarang dan kerusakan/tidak sahnya perkara itu.” Kemudian beliau juga menyebutkan hadits di atas sebagai dalil kaidah ini (lihat Syarh Ushul min Ilmi Ushul, hal. 136). Contohnya apabila ada orang yang berpuasa pada hari raya maka puasanya tidak sah dan haram dilakukan, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa di hari raya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada dua hari; yaitu idul adha dan idul fithri.” (HR. Muslim [1138]). Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan mengapa sesuatu yang terlarang itu ditolak. Beliau berkata, “Hal itu disebabkan semua perkara yang dilarang bukanlah termasuk ajaran agama sehingga wajib untuk ditolak…” (Fath Al-Bari, 5/342).
4. Haramnya mereka-reka sesuatu yang baru dalam agama Allah ini meskipun dilandasi oleh niat yang baik (lihat Syarh Al-Arba’in li Ibni Utsaimin, hal. 98). Sebab penilaian atas suatu amal tidak hanya ditinjau dari niatnya, akan tetapi juga cara pelaksanaannya. Oleh sebab itu para ulama menjadikan hadits Umar (tentang niat) sebagai timbangan amal batin, sedangkan hadits Aisyah ini sebagai timbangan amal secara lahir (lihat Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 14. Ad-Durrah As-Salafiyah, hal. 77, Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 489). Wallahu a’lam.